Komoditas ekspor impor China ke Indonesia mengalami perkembangan cukup pesat selama 30 tahun terakhir, nilainya mengalami pertumbuhan hingga 10%. Bahkan, menurut catatan pada bulan Mei tahun 2020 mencatatkan hasil surplus pada neraca perdagangan.
Hasilnya memang cukup besar angkanya mencapai 2,1 milyar Dolar Amerika. Hal ini terjadi karena pendapatan dari penjualan ($10,53 milyar) lebih besar dibandingkan pembelian dari produk luar ($8,44 milyar).
Dari angka penjualan tersebut hampir 17,04% Komoditas ekspor Indonesia ke China. Sementara, untuk pembeliannya juga didominasi dari Tiongkok (28,13%), Jepang (10,04%), serta Singapura (6,69%) beberapa kawasan lainnya ada di Eropa, serta Thailand.
Saat ini Negara yang terkenal dengan The Great Wall tersebut menjadi negeri dengan tingkat perekonomian terkuat nomor dua di dunia. Hampir seluruh produk mereka digunakan hampir seluruh dunia.
Tidak hanya komoditi peralatan elektronik saja. Melainkan, industri hingga pertanian juga semakin digemari. Saat ini mereka bersaing ketat dengan Amerika, tidak heran beberapa waktu lalu keduanya sempat melakukan perang dagang.
Hal tersebut cukup menyulitkan bagi semua negara. Dari perang tersebut beberapa komoditi seperti emas mengalami kenaikan sangat pesat. Sementara, minyak bumi terus turun hingga level terdalam tahun ini.
Tiongkok Tetap Menjadi Unggulan Indonesia
Komoditas Ekspor impor China dimulai dari bentuk kerja sama kedua negara yang nilai investasinya mencapai 81,3%. RI menempati posisi 15 sebagai negara yang mampu memasok kebutuhan bahan baku Tiongkok.
Angka tersebut akan terus dikejar hingga menjadi pemasok utama. Menurut para pengamat, pasar potensial bagi Indonesia memang ada di Ibu Kota Beijing itu. Beberapa kebutuhannya dimiliki dengan kualitas tidak kalah dengan produk lainnya.
Apalagi, perang dagang yang sedang terjadi sedikit menguntungkan. Karena, Australia yang merupakan mitra utama harus terdampak situasi tersebut. Inilah potensi besar mengapa Tiongkok cukup potensial.
Komoditas Ekspor impor China tidak hanya mengenai barang tambang seperti batu bara, nikel, atau emas saja. Melainkan, sektor pertanian, kelautan, perkebunan sampai pariwisata. Perlu langkah strategis untuk mewujudkannya.
Saat ini produk yang dikirim cukup banyak mulai dari karet, alumunium, kopi, teh, hingga rempah-rempah. Masa pandemi ini, nilainya semakin bertambah pesat terutama produk mineral logam sebagai upaya pemulihan ekonomi.
Alasan lain mengapa pemerintah masih memprioritaskan negara dengan jumlah populasi terbesar di dunia ini adalah 12% penduduknya akan makmur. Dengan begitu kemampuan mereka dalam membeli semakin besar.
Peluang meraih devisa cukup besar sangat terbuka lebar. Apalagi, produk dalam negeri memang sudah terkenal dengan kualitasnya. Bukan mimpi bila RI mampu menyaingi komoditas ekspor impor China bahkan, mampu mengunggulinya.
Kontribusi Komoditas Ekspor Impor China
Sejak tahun 2015, sudah banyak barang masuk ke RI dari Negeri panda ini. Jumlahnya hampir 19 juta ton. Peralatan komunikasi menjadi paling banyak. Seperti, diketahui bahwa, pada tahun tersebut ponsel dari negeri tersebut mulai bermunculan.
Jumlahnya semakin besar setiap tahunnya. Bahkan, saat ini hampir semua pasar smartphone Indonesia sudah dikuasai terutama untuk kelas menengah ke bawah. Dari segi teknologi memang Tiongkok memiliki perkembangan sangat pesat.
Bahkan, perkembangan tersebut mengalahkan beberapa negara maju lainnya. Dari segi kualitas hingga harga juga tidak terlalu jauh. Selanjutnya, komoditas impor China ke negara Indonesia ada senjata hingga peralatan perang.
Seperti kapal laut sampai pesawat udara. Walau, dalam jumlahnya memang tidak begitu banyak. Tetapi, kontribusinya cukup untuk membantu dalam menambah armada keamanan NKRI. Terutama di wilayah perbatasan serta konflik politik yang terjadi.
Tidak hanya itu saja, Bawang putih juga jadi sektor lain memenuhi kebutuhan dalam negeri. Walaupun, sedikit bergantung dengan komoditas ekspor impor China. Tetapi, pada masa pandemi angkanya turun cukup drastis dibandingkan bulan yang sama tahun lalu.
Pemenuhan kebutuhan tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Terbukti, banyak perabotan sampai peralatan lain membanjiri rumah. Dari perjanjian kerja sama tersebut sedikit banyak mendorong perekonomian masyarakat.
Standar kehidupan layak mereka meningkat. Tidak hanya itu saja, berbagai peralatan kesehatan hingga perkantoran mulai menunjukkan peningkatan. Terutama soal keamanan, walau beberapa produknya kurang begitu memadai. Tetapi, cukup memadai.
Tiongkok dan Indonesia Menjadi Mitra Dagang Utama
Keduanya memang sudah sepakat menjadi mitra dagang utama. Hal tersebut dibuktikan melalui penggunaan Yuan serta Rupiah dalam setiap aktivitas perdagangan komoditas Ekspor impor China dan Indonesia.
Mereka memang sedang menghindari ketergantungan terhadap Dolar Amerika. Perjanjian tersebut memang mempunyai dampak cukup besar bagi keduanya. Salah satunya adalah menghindari yurisdikasi Amerika.
Selain itu, keinginan negeri tersebut mengalahkan komoditas ekspor Jepang di seluruh pasar Asia yang sejak dulu sudah berjaya. Indonesia merupakan pasar potensial alasan terbesarnya adalah penduduknya sangat konsumtif.
Dengan menjadi mitra dagang maka Tiongkok memperkuat posisinya sebagai produsen terbesar di Dunia. Dalam setiap pergerakan mata uang di pasar modal, ekspor dan impor menjadi pengaruh utama.
Ketergantungan terhadap Dolar membuat Rupiah sedikit kesulitan meraih posisi yang baik untuk iklim usaha. Walau, keuntungan ada di Tiongkok. Namun, RI juga dapat mengambil aksi yang sama.
Rupiah menjadi semakin dikenal, banyak investor melirik RI untuk menanamkan modalnya. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk menambah lapangan pekerjaan. Saat ini, investor terbanyak berasal dari negara ini.
Pada dasarnya pasar keduanya memang cukup potensial. Apalagi, banyak syarat harus dipenuhi untuk percepatan. Salah satunya pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Bila tidak mencukupi beli dari negara lain jadi solusi utama.
Data Komoditas Ekspor Impor China
Pada bulan juni data aktivitas perdagangan mengalami kenaikan baik penjualan hingga pembelian dari dan ke negara luar. Presentasenya tidak lebih dari 10%, salah satu penyebabnya akan perekonomian global sedang tidak bagus.
Pandemi masih menjadi hantu dengan berbagai macam kebijakan di berbagai negara. Hal ini menjadi upaya perkembangan penjualan beberapa produk mereka ke luar. Peluangnya memang sangat besar.
Hal ini disebabkan beberapa pesaingnya seperti Amerika, Inggris, Jepang masih berupaya keras menangani laju positif virus. Tidak heran bila pasokannya mampu memenuhi kebutuhan beberapa negara. Sebagai salah satu pemulihan perekonomian.
Sektor ini memang jadi landasan utama setiap bangsa meningkatkan perekonomian mereka dan terhindar dari jurang resesi. Setelah Wuhan ditutup, ekonomi mereka sedikit terpuruk dan tergerus dalam jurang cukup dalam.
Dengan hasil positif tersebut, PDB naik meyakinkan. Hal ini menumbuhkan kepercayaan diri, bahwa krisis dapat segera berakhir. Apalagi, penanganannya sudah memasuki tahap vaksinasi. Diharapkan 2022, sudah kembali berjalan normal.
Pertumbuhan neraca perdagangan ini memberikan indikasi terbaik, Bahwa, saat pandemi berakhir. Tiongkok jadi kawasan Asia dan Dunia pertama yang sanggup keluar dari krisis. Hal ini sangat penting, agar kejayaan mereka di pasar keungan masih tidak tergoyahkan.
Tidak heran sampai saat ini banyak pasar potensial diajak untuk kerja sama. Walaupun, saling menguntungkan. Namun, Tiongkok paham benar bagaimana caranya menguasai pasar dunia untuk beberapa tahun kedepan.
Komoditas ekspor impor China diyakini akan terus bertambah nilainya dari tahun ke tahun tidak hanya di pasar Asia tetapi, juga dunia.